Perubahan iklim telah mengubah pola
migrasi ikan sidat di perairan laut Kepulauan Indonesia. Jika biasanya ikan
ini hanya bisa dilihat di laut selama setengah tahun, namun saat ini belut laut
ini muncul sepanjang tahun.
Bentuknya seperti ular. Namun secara
biologis karena memiliki insang dan sirip dia masuk kelompok ikan. Orang
Indonesia biasa menyebutnya ikan sidat (belut laut tropis) atau bahasa latinnya
anguilla sp. Jarang sekali ikan ini dikonsumsi oleh orang
pribumi. Meski demikian, jangan remehkan ikan ini dari bentuknya. Sebab
kandungan nutrisi ikan ini berada di atas rata-rata semua jenis ikan. Bahkan,
di Eropa, Amerika, dan Jepang ikan ini laris manis dan menjadi konsumsi dari
kalangan menengah ke atas karena harganya cukup mahal.
Bahkan sebagian orang Jepang percaya
bahwa dengan mengonsumsi ikan ini bisa menambah stamina dan memperpanjang umur.
Meskipun terkesan hanya sebagai mitos, namun secara medis ikan ini memang
memiliki kandungan nutrisi protein, karbohidrat, serta omega 3 yang
tinggi. Sehingga menguatkan fungsi otak dan memperlambat terjadinya kepikunan.
Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil ikan sidat jenis tropis yang
melimpah.
Menurut Peneliti Bidang Sumber Daya
Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Hagi Yulia Sugeha menyatakan RI berpotensi menjadi penghasil ikan sidat
terbesar di dunia. Sebab, ikan sidat jenis tropis yang ada di perairan laut
Indonesia memiliki karakter yang unik. Sidat betina tropis memiliki kemampuan
reproduksi sembilan kali lebih banyak ketimbang jenis ikan sidat dari lintang tinggi.
Ini bisa dilihat dari jumlah telur yang dibawa dalam perutnya. Selain itu
kemampuan memijahnya pun sepanjang tahun. Dengan kemampuan bertelur mencapai
ratusan ribu bahkan jutaan telur, maka ikan ini sangat potensial untuk
dibudidayakan.
“Ikan sidat merupakan menu paling
mahal di Jepang disebut sebagai unagi tahun 2000-an harga ikan ini di pasar 700
yen per ekor (saat itu sekira Rp.490 ribu per ekor). Tapi kalau sudah
diolah yang siap makan di restoran harganya 5.000 yen per porsi. Itu hanya
orang kaya yang beli padahal hanya 1 potong,” katanya.
Meski demikian, kata dia, ikan sidat
kini mulai menunjukkan pola hidup yang berbeda. Menurut Yulia, ini bisa
disebabkan oleh perubahan iklim atau kondisi air yang tercemar. Selama ini
dilaporkan ikan ini akan muncul di lautan hanya setengah tahun. Namun ternyata
berdasarkan penelitian yang dia lakukan di Muara Sungai Poigar sebelah utara
pulau Sulawesi, ikan ini bisa muncul sepanjang tahun. Selain itu, komposisi
spesies ikan sidat yang masuk ke perairan laut Indonesia pun bisa berbeda.
Dalam satu tahun bisa dominan sidat jenis spesies celebesensis, sedang tahun
berikutnya bisa dominan marmorata.
Pengamatan yang dilakukan Yulia
bersama empat peneliti dari Jepang selama kurun 1997-1999, terungkap bahwa pola
migrasi sidat Muara Sungai Poigar Sulawesi tercatat ada tiga karakter spesies
sidat yang melimpah. Yakni, jenis anguilla celebesensis, marmorata, dan bicolor
pacifica. Selama tiga tahun penelitian celebesensis merupakan spesies paling
melimpah dengan angka 73,5 persen, 79,5 persen, dan 81,9 persen. Marmorata
merupakan spesies dengan kelimpahan nomor dua dengang persentase 23,8 persen,
18,8 persen, dan 17,7 persen. Sedangan bicolor pasifika hanya 2,7 persen, 1,7
persen, dan 0,3 persen.
“Selama awal bulan, belut laut ini
tampak lebih melimpah saat laut pasang ketimbang saat surut. Dari hasil
penelitian ini menemukan bahwa ikan sidat akan menjadi melimpah saat awal bulan
dan saat laut pasang,” katanya.
Namun selama empat tahun terakhir
penelitian yang dilakukan Yulia bersama tim peneliti LIPI, ditemukan pola
migrasi yang berbeda dari ikan ini.
Menurut dia, ikan sidat telah
mengubah tingkah laku migrasi. Dia bersama tim peneliti baru saja melaporkan
tentang perubahan dominasi spesies. Celebesensis yang sebelumnya tampak
melimpah kini telah digantikan oleh marmorata. Toh meskipun, kata dia, dalam
bermigrasi celebesensis memang lebih dekat ke Indonesia dibandingkan marmorata
dan bicolor pasifika.
“Kami menduga perubahan siklus ini
karena dia mengikuti siklus perubahan iklim. Jadi mungkin 10 tahun kemudian
bisa jadi celebesensis akan dominan lagi. Lha kalau dipengaruhi lagi oleh
perubahan iklim itu bisa berubah sebab spesies yang bermigrasi sangat erat
kaitannya dengan perubahan iklim atau lingkungan. Jadi apabila lingkungan
berubah, maka pola migrasinya juga akan berubah. Misalnya sungainya rusak,
tercemar dan lainnya,” paparnya.
Para ilmuwan memang sudah terlanjur
khawatir. Bahwa pada 2030 mendatang diperkirakan banyak spesies akan punah.
Namun kenyataannya dilaporkan bahwa Indonesia merupakan tempat bagi tujuh dari
18 spesies ikan sidat yang ada di dunia.
Bahkan hasil penelitian yang
dilakukan Yulia dan Tim LIPI menemukan lima jenis spesies baru yang karakternya
belum pernah di laporkan ada di dunia. Sehingga berpeluang menjadi spesies baru
di luar angka 18 spesies yang telah tercatat tersebut. Selain itu, dia
menemukan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi tempat tinggal tujuh spesies
sidat, namun juga ditemukan dua spesies lainnya yang termasuk bagian dari 18
spesies tersebut. Artinya Indonesia berpeluang ditempati sembilan spesies sidat
yang pernah dikenal di dunia.
Tidak hanya itu, spesies moyang dari
sidat yakni anguilla borneensis merupakan spesies yang hanya ada di Indonesia
dan statusnya sudah endemis atau terancam punah. Wilayah Indonesia memang
sangat memungkinkan sebagai tempat favorit sidat, karena karakter ikan sidat
yang suka bertelur di wilayah gugusan pulau. Selain itu banyaknya gunung dan
danau merupakan surga bagi ikan ini. Yulia bersama Tim peneliti sempat menemukan
ikan sidat yang sudah berumur 15 tahun dengan ukuran panjang 1,72 meter dan
berat 15 kg. Tingkat pertumbuhannya memang tinggi di daerah tropis.
“Curiga saya jangan-jangan 18
spesies dunia awal penyebarannya dari Indonesia kemudian menyebar ke daerah
lain,” katanya.
Mempelajari pola karakter hidup ikan
sidat memang unik. Ikan ini bisa hidup di air tawar maupun asin, dipercaya
inilah yang menyebabkan metabolisme dan daya tahan tubuh ikan ini menjadi
tinggi sehingga kandungan nutrisinya pun tinggi. Ikan sidat dewasa akan
bereproduksi di laut. Sementara jutaan anakan-anakan ikan ini akan bermigrasi
mencari muara dan menuju air tawar dan tinggal di sana selama bertahun-tahun.
Setelah dewasa sidat akan kembali
mencari laut untuk bereproduksi begitu terus siklusnya. Ini terbalik dari ikan
salmon yang justru mencari air tawar untuk melakukan reproduksi, dan
anak-anaknya yang akan bermigrasi mencari laut.
Namun menurut Yulia, memang ada yang
berubah dari pola migrasi sidat. Temuan lain yang dia dapatkan bersama tim
peneliti adalah pola migrasi yang tidak sama antara Indonesia bagian barat,
tengah, dan timur.
Penelitian yang dilakukan secara serentak di tiga wilayah tersebut dengan melibatkan banyak anggota tim peneliti menemukan bahwa musim kemarau merupakan puncak kelimpahan sidat di Indonesia bagian tengah yakni pada bulan April – Oktober. Namun kebalikannya, justru Indonesia bagian barat dan timur kelimpahannya rendah saat musim kemarau.
Penelitian yang dilakukan secara serentak di tiga wilayah tersebut dengan melibatkan banyak anggota tim peneliti menemukan bahwa musim kemarau merupakan puncak kelimpahan sidat di Indonesia bagian tengah yakni pada bulan April – Oktober. Namun kebalikannya, justru Indonesia bagian barat dan timur kelimpahannya rendah saat musim kemarau.
“Jadi kemungkinan ketemu
kelimpahannya di musim penghujan. Nah implikasinya buat pengelolaannya tidak
boleh sama. Kebiasaan di Indonesia, jika satu budi dayanya seperti ini maka
yang lainnya juga sama. Padahal musimnya saja beda,” paparnya.
Hingga saat ini, memang eksploitasi
ikan sidat masih mengandalkan hasil tangkapan alam. Biasanya ikan sidat
ditangkap saat anakan untuk kemudian diekspor atau pada ukuran yang sudah
besar. Meskipun di Indonesia potensinya memang melimpah dan belum tergali,
namun menurut Yulia hingga saat ini belum ditemukan lokasi di mana ikan sidat
ini bertelur dan bereproduksi. Jika sudah ditemukan lokasi dan karakternya,
tentu akan sangat membantu pengembangan budi dayanya.
Selain itu, dia mengkhawatirkan
masih ada spesies lain ikan sidat di negeri ini yang belum ditemukan.
Kekhawatirannya spesies tersebut sudah punah lebih dulu sebelum dilakukan
pencatatan akibat eksploitasi yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan
kehidupan ikan ini.
Manfaat Tersembunyi pohon pakis Yang Belum Di Ketahui
BalasHapusAgen Sbobet